gus teja

Rabu, 22 Januari 2014

Kondisi Pariwisata Bali Derita Tujuh ''Penyakit''


Kondisi Pariwisata Bali Derita Tujuh ''Penyakit''

Denpasar (Bali Post)-

Pariwisata Bali benar-benar dihadapkan dengan ''penyakit'' yang sangat parah. Parah karena penyakit ini sudah bertahun-tahun terjadi tetapi sampai sekarang belum berhasil disembuhkan. Jika terus dibiarkan akan merusak citra pariwisata Bali. Dalam jangka panjang akan menyebabkan penurunan kunjungan wisatawan ke Bali. Kondisi Bali yang bising dan macet, benar-benar ironis bertolak belakang dengan film ''Eat, Pray and Love'' yakni Bali tenang dan damai.

Keluhan tersebut terungkap ketika komponen pariwisata Bali dari BTB, PHRI, Asita dan Pawiba dalam dengar pendapat dengan DPRD Bali Senin (16/8) lalu. Komponen pariwisata Bali itu sedikitnya menyampaikan tujuh gejala penyakit yang kondisinya makin parah.

Pertama, kemacetan lalu lintas di Bali yang makin parah. Kemacetan terparah terjadi di seputar Bunderan Simpang Siur Kuta dan Legian Kuta. Kemacetan di kawasan itu sampai mencapai 1-2 jam. Di Legian disebutkan kemacetan justru diakibatkan karena banyaknya mobil yang parkir di badan jalan tanpa ada tindakan tegas dari aparat terkait. Sementara di Bunderan Simpang Siur kemacetan biasanya terjadi saat waktu jam pulang kerja.

Kedua, banyaknya angkutan wisata ilegal gentayangan di Bali. Hal ini berakibat angkutan sewa itu makin dijual murah. Dari Rp 300.000 per hari kini dijual Rp 175.000 per hari kepada wisatawan. Di Bali ada 132 perusahan bus dengan jumlah 900 unit sedangkan mobil sewa legal 2.500. Selebihnya ilegal. ''Instansi terkait kurang melakukan penertiban, sehingga lebih banyak kendaraan sewa ilegal di Bali,'' kata Ketua Pawiba Bali Bagus Sudiana yang menyarankan agar kembali dihidupkan dewan angkutan darat.

Ketiga, pelayanan imigrasi terhadap wisatawan mancanegara semakin buruk. Komponen pariwisata sudah menyampaikan keluhan itu ke DPR, Menteri Hukum dan HAM sampai ke Wapres. Namun sampai kini belum ada tindak lanjut. Jawaban pemerintah pusat sangat klise akan diperbaiki. Nyatanya kekurangan petugas pelayanan VOA sampai sekarang belum ditindaklanjuti. Hal ini memperburuk citra pariwistaa Bali di mata wisatawan mancanegara.

Keempat, keperluan untuk minuman beralkohol yang berizin di Bali tak tersedia saat dibutuhkan wisatawan. Bahkan mikol ini sering dijadikan ajang permainan oleh pebisnis di pusat yang ujung-ujungnya terjadi penertiban di Bea Cukai dan Imigrasi yang berbuntut terjadinya krisis mikol di hotel. Sementara Bali enggan melibatkan diri karena hanya kecipratan dari jual label edar mikol.

Kelima, moratoratorium izin hotel tak berhasil. Stop pembangunan hotel di Badung dan Denpasar gagal. Izin hotel baru terus dikeluarkan pemerintah daerah. Bahkan sebuah hotel besar dibangun di daerah sempadan pantai di Badung. Moratorrium ini diakui Wakil Ketua DPRD, Suwandi masih selektif. Sejumlah kabupaten masih bisa diberikan izin baru seperti Karangasem, Buleleng dan Jembrana.

Keenam, perlunya sistem online pembayaran PHR untuk meningkatkan kredibilitas aparat pajak di mata wajib pajak. Jika ini bisa diberlakukan, menurut Dirut BTDC Ir. Made Mandra akan mampu mendongkrak PHRI tiga kali lipat. Suwandi tak menyangkal sinyalemen adanya permainan antara WP dengan oknum petugas. Misalnya WP yang mesti kena 75, hanya ditetapkan 25, sisanya 25 untuk oknum WP dan oknum petugas 25. ''Walaupun sudah diberlakukan sistem satu atap, buktinya masih banyak atap dalam pelayanan satu atap,'' tambah Arjaya.

Terakhir ketujuh, keberatan komponen pariwisata mengenai kenaikan ABT sampai 500 persen. Dewan sepakat untuk membentuk Pansus untuk mendiagnose penyakit kalangan pariwisata Bali. (029)

Tidak ada komentar: