gus teja

Rabu, 22 Januari 2014

Dampak Positif dan Negatif Pariwisata


      Dalam kegiatan pariwisata pasti akan memberikan dampak bagi setiap kalangan yang berkecinampung di dalam pariwisata. Seperti yang kita ketahui bersama, kegiatan pariwisata dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi yang berkecinampung di dalam kegiatan pariwisata ini baik dari objek wisatanya, masyarakat sekitar maupun pemerintah daerahnya. Berikut beberapa dampak positif dan negatif dari kegiatan pariwisata.

Dampak positif dari pariwisata :
1.Pendapatan Tetap
Pariwisata dapat mendatangkan pendapatan tetap yang efeknya dapat berantai. Salah satunya adalah terciptanya lapangan kerja untuk penduduk setempat. Selain itu, masyarakat masih bisa memperoleh pendapatan melalui pengeluaran oleh wisatawan misalnya cinderamata, makanan-minuman, penginapan, atau jasa pariwisata yang lain. Akan tetapi perlu diingat bahwa masyarakat tidak bisa sepenuhnya menggantungkan pendapatan mereka dari pariwisata. Pariwisata kondisinya sangat berfluktuatif tergantung dari banyak hal diantarnya kondisi ekonomi dan faktor keamanan serta kenyamanan. Banyak pekerjaan di sektor pariwisata juga merupakan pekerjaan paruh waktu ataupun musiman, misalnya pemandu wisata akan ada pekerjaan jika ada wisatawan. 

2.Peningkatan Pelayanan Untuk Masyarakat
Adanya sumber pendapatan yang diperoleh dari kegiatan pariwisata baik di dalam maupun luar kawasan lindung dapat memperbaiki dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Misalnya, masyarakat akan mampu mengakses pelayanan kesehatan maupun pendidikan dengan lebih baik. Selain itu penerapan pajak ataupun insentif dapat juga membantu proyek-proyek pembangunan di masyarakat. Pajak dapat diperoleh dari iuran masuk kawasan ataupun konsesi penggunaan kawasan. Proyek-proyek masyarakat dapat didanai dari kegiatan pariwisata berkelanjutan ini seperti mendanai program sekolah yang sedang berjalan ataupun pembangunan klinik kesehatan baru.

3.Penguatan dan Pertukaran Budaya
Interaksi dengan masyarakat lokal serta tradisi dan budayanya merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi wisatawan, inilah salah satu alasan mereka berwisata. Begitupun sebaliknya bagi masyarakat lokal, dapat membangun rasa percaya diri serta bangga terhadap kebudayaan mereka karena tradisi dan budayanya disukai oleh wisatawan. Peran dan interkasi masyarakat lokal terhadap wisata dan wisatawan merupakan nilai tambah bagi pariwisata. Namun, kesuksesan dari proses interaktif ini tergantung kepada masyarakat lokal juga, bagaimana mereka mengolah proses serta situasi yang ada. Kemahiran berbahasa (untuk wisatawan asing) serta keramahan dan kehangatan sikap masyarakat lokal menjadi hal penting untuk upaya ini. 

4.Kesadaran Masyarakat Terhadap Konservasi
Sudah menjadi hal umum jika kita biasanya kurang mensyukuri dan manghargai lingkungan sekitar kita. Hal ini dapat disebabkan karena tiap saat kita hidup didalamnya sehingga kurang bisa melihat keindahan, keunikan dan nikmat yang ada. Meskipun pada dasarnya kita dapat memahami kerumitan alam dan peran sumber daya yang ada di sekitar kita. Ketika orang luar datang dan mengagumi lingkungan, budaya serta tradisi kita maka akan timbul rasa bangga pada apa yang kita miliki dan biasanya akan diikuti dengan upaya konservasi. Banyak dari kita kemudian berusaha untuk melindungi daerah kita serta mengubah pola hidup yang dapat merusak lingkungan, misalnya kita akan menjaga kebersihan lingkungan, mengelola kualitas air serta mempelajari budaya dan tradisi kita. 

Dampak negatif dari Pariwisata :

1.Rusaknya Lingkungan
Berasal dari jumlah dan perilaku wisatawan yang dapat mengganggu dan merusak kondisi lingkungan setempat. Berkaitan erat dengan daya dukung lingkungan dan dapat dikontrol dengan pemberlakuan manajemen pariwisata yang baik dengan menerapkan batasan perubahan yang dapat diterima. Proses yang dipakai adalah adaptif aktif. Selalu dapat melihat setiap perubahan yang terjadi dengan menetapkan kriteria serta indikator yang disesuaikan dengan tujuan paradigma pariwisata yang dibangun.

2.Ketidakstabilan Ekonomi
Hal ini membuat masyarakat rentan terhadap kondisi pariwisata yang fluktuatif. Sebagai konsekuensinya, wisatawan dan masyarakat lokal dapat membayar harga yang lebih tinggi untuk mendapatkan pelayanan, makanan-minuman, bahan bakar, penginapan dll.

3.Kepadatan dan Kenyamanan
Terlalu banyaknya wisatawan akan mengganggu kenyamanan wisatawan itu sendiri dan juga masyarakat yang hidup di daerah tersebut, terutama jika hal ini terjadi di kawasan lindung. 

4.Pembangunan Berlebih
Pembangunan pariwisata jika tidak dikontrol dengan baik dapat mengganggu kenyamanan dan merusak lingkungan. Pembangunan dalam hal ini bisa dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu pembangunan yang terencana dan pembangunan yang tidak terencana. Pembangunan terencana misalnya resort, hotel, dermaga, akses jalan dan fasilitas pendukung wisata lainnya. Mereka sudah menempati ruang dan jumlah tertentu. Pembangunan yang tidak terencana misalnya rumah-rumah pekerja industri wisata. Pembangunan tidak terencana biasanya disebabkan oleh masyakarat yang mencari pekerjaan di sektor wisata. Pembangunan ini seringkali sewenang-wenang, tidak memperhatikan sanitasi dan kebersihan lingkungan
Sehingga kerap muncul gubuk-gubuk kumuh dan liar di sekitar lokasi wisata. 

5.Pengaturan Dari Pihak Luar Yang Berlebihan
Meskipun hal ini terlihat sebagai penilaian subjektif tapi hal ini juga telah menjadi pusat perhatian para pemerhati kegiatan pariwisata. Pengusaha luar biasanya mempunyai pengalaman serta sumber pendanaan yang lebih banyak. Seringkali dengan pengalaman, pengetahuan serta kekuatan yang mereka miliki timbul kecenderungan bahwa mereka akan mengatur kegiatan pariwisata dan dapat menekan orang lokal atau menimbulkan kesan seolah-olah orang lokal hanya sebagai peran pembantu saja. Hal ini akan berdampak tidak baik bagi kegiatan pariwisata itu sendiri karena kegiatan pariwisata ini dapat  dibenci dan tidak didukung orang lokal. Diperlukan komunikasi yang baik dan pemerintah mempunyai peran besar terhadap manajemen pariwisata di suatu kawasan lindung.

6.Kebocoran Secara Ekonomi
Pajak dari sektor pariwisata dapat “bocor” ke tempat atau daerah lain jika wisatawan lebih memilih membeli barang ataupun memakai jasa-usaha yang dikelola oleh orang luar (non lokal). Sebenarnya hal ini lumrah dan biasa terjadi di berbagai tempat wisata dan kita juga tidak bisa menghindarinya. Hal yang perlu dipikirkan kembali adalah membatasi kebocoran yang terjadi dengan pemberdayaan masyarakat lokal. Untungnya, banyak wisatawan yang semakin sadar untuk membeli dan memakai produk lokal jika mereka diberi kesempatan dengan catatan bahwa barang dan jasa yang ditawarkan dapat bersaing dan bermutu bagus.

7.Perubahan Budaya
Perubahan budaya yang terjadi di masyarakat dapat bersifat positif dan negatif, tergantung dari mana kita memandangnya. Bagaimanapun masyarakat biasanya tidak mampu atau tidak diberi kesempatan untuk menentukan apakah mereka ingin berubah atau tidak. Perubahan akan terjadi dengan begitu saja tanpa masyarakat menyadarinya. Bagi para wisatawan, ada yang mengharapkan agar masyarakat tidak berubah tetapi bagi sebagian wisatawan yang lain masyarakat merupakan target perubahan untuk dipengaruhi. Dilihat dari masyarakat itu sendiri juga ada beberapa perspektif. Ada masyarakat yang ingin menuju ke arah modernisasi, ada masyarakat yang ingin mempertahankan gaya hidup serta budaya mereka tetapi ada juga masyarakat yang tidak peduli dengan perubahan yang terjadi selama mereka dapat hidup layak.

Perwilayahan Pariwisata Indonesia




            Untuk membangun industri Pariwisata suatu negara memperhatikan dasar-dasar rumusan pemikiran sebagai berikut :
1.     Informasi serta pengetahuan seseorang yang banyak mengadakan perjalanan merupakan informasi dan pengetahuan yang lebih luas dan mungkin lebih mendalam tentang pariwisata dan situasi dalam berbagai bidang dengan aspek kehidupan yang sangat luas, baik dalam ukuran nasional maupun skala internasional.
2.      Bahwa industri pariwisata merupakan bagian internal dari rencana pembangunan ekonomi nasional mereka dalam waktu jangka panjang.

Bagi Republik Indonesia, kedua rumusan pemikiran tersebut di atas merupakan pula sebagai dasar pembangunan industri pariwisatanya. Sebagai contoh di era Orde Lama (1959-1965), tentang pariwisata ini tersimpul dalam kebijaksanaan politik Pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) Gotong Royong yang tertuang dalam ketetapan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), yaitu :
1.     Bahwa atas informasi serta pengetahuan luas dan memperdalam kita membentuk dan memelihara persahabatan dengan negara-negara lain demi menggalang persatuan dan perdamaian yang abadi di atas bumi ini.
2.     Bahwa industri pariwisata merupakan suatu proyek yang segera dapat menghasilkan, yang harus digolongkan sebagai proyek utama di antara proyek-proyek lainnya.
Dalam masa-masa Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Suharto, sebagai mendataris MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) Replubik Indonesia, pariwisata memperoleh posisi dalam era pembangunannya untuk meningkatkan penerimaan devisa, memperluas lapangan kerja serta memperkenalkan budaya bangsa kepada dunia luar. Hal ini dengan jelas tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), seperti telah disebutkan dalam bab terdahulu.
Berbicara tentang pembangunan industri pariwisata di Indonesia, perlu disinggung potensi daerah wilayah Tanah Air ditinjau dari segi dunia pariwisata sendiri, di mana menurut Panitia Nasional Penelitian Laut, wilayah Indonesia terdiri dari 13.677 buah pulau, dan 6.004 pulau diantaranya dihuni oleh manusia. Sesungguhnya alam Indonesia ini penuh dengan aneka ragam pemandangan indah menakjubkan serta keadaan aneh dan ajaib yang menyediakan objek-objek pariwisata luas dan menarik bagi wisatawan yang ingin menikmatinya.
Objek-objek ini tersebar hampir di seluruh kepulauan Tanah Air kita yang beribu-ribu itu. Pertama-tama pertanyan lalu timbul, bagaimana hendaknya pengembangan industri pariwisata ini dilaksanakan di Indonesia yang begitu luas dan memiliki beraneka warna objek bermutu tinggi tersebar di mana-mana? Menurut perencanaan yang telah mulai dikerjakan, pembangunan industri pariwisata dilaksanakan atas program bertahap, yaitu untuk pertama kalinya Jawa dan Bali (1961-1968).
Guna memperoleh gambaran jelas tentang pelaksanaan program tahap demi tahap dalam pembangunan industri pariwisata ini, perlu dikemukakan di sini bahwa industri pariwisata dibangun atas dasar perwilayahan. Bagi Indonesia perwilayahan ini sangat penting karena Indonesia memiliki potensi luas dan beraneka warna, baik yang merupakan atraksi tidak bergerak (seperti : keindahan alam, monumen, candi, dan sebagainya) maupun atraksi bergerak  (di mana faktor manusia memegang peranan penting, misalnya: kesenian, adat-istiadat, seremoni, perayaan, pekan raya dan sebagainya).
Yang dimaksud dengan perwilayahan dalam dunia kepariwisataan adalah pembagian wilayah-wilayah pariwisata yang dapat dipandang memiliki potensi, selanjutnya dapat dijadikan tujuan yang pasti. Dalam pengertian ilmiahnya wilayah ini disebut daerah tujuan wisata atau dalam bahasa asingnya tourist destination area, yang batasnya adalah sebagai berikut: “Yang dimaksudkan dengan wilayah pariwisata adalah tempat atau daerah yang karena atraksinya, situasinya dalam hubungan lalu-lintas dan fasilitas-fasilitas kepariwisataannya menyebabkan tempat atau daerah tersebut menjadi objek kebutuhan wisatawan.
Bila kita pelajari dengan teliti definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga kebutuhan utama yang harus dipenuhi oleh suatu daerah untuk menjadi tujuan wisata:
1)    Memiliki atraksi atau objek menarik
2)    Mudah dicapai dengan alat-alat kendaraan
3)    Menyediakan tempat untuk tinggal sementara.
Adapun atraksi atau objek menarik yang dimaksudkan adalah sesuatu yang dihubungkan dengan keindahan alam, kebudayaan,, perkembangan ekonomi, politik, lalu-lintas, kegiatan olah raga dan sebagainya, tergantung kepada “kekayaan” suatu daerah dalam soal pemilihan atraksi atau objek ini.
Di berbagai negara, di Eropa Barat misalnya, orang menggolongkan daerah tujuan wisata menurut faktor-faktor tersebut di bawah ini :
a)    Daerah Tujuan Wisata tergantung atas alam
Tergolong dalam, daerah tujuan ini :
1.     tempat berlibur pada musim-musim tertentu (liburan musim panas atau musim dingin),
2.     tempat beristirahat untuk kesehatan, seperti misalnya sumber atau mata air panas yang mengandung mineral, dapat menyembuhkan orang sakit apabila mandi atau minum air tersebut atau tempat yang mempunyai hawa udara yang dapat menyembuhkan orang menderita penyakit tertentu, misalnya daerah pegunungan atau pantai.

b)    Daerah Tujuan Wisata tergantung atas kebudayaan
Dalam katagori ini termasuk :
1.     kota-kota bersejarah, mempunyai bangunan-bangunan bergaya arsitektur unik, monumen, balairung, teater dan sebagainya.
2.     pusat pendidikan seperti misalnya universitas, pusat penyelidikan dan penelitian, lembaga ilmiah, konservator dan sebagainya.
3.     tempat yang mempunyai acara-acara khusus seperti perayaan, adat-istiadat, pesta rakyat, pekan olah raga dan sebagainya.
4.     pusat beribadah seperti mesjid, gereja, pura, kuil dan sebagainya.

c)     Daerah Tujuan Wisata tergantung atas lalu lintas
Daerah tujuan ini meputi :
1.     daerah pelabuhan laut,
2.     pertemuan lalu-lintas kereta api,
3.     persimpangan lalu-lintas kendaraan bermotor,
4.     daerah pelabuhan udara.

d)    Daerah Tujuan Wisata tergantung atas kegiatan ekonomi
Termasuk dalam katagori ini :
1.     pusat perdagangan dan perindustrian,
2.     pusat-pusat bursa dan pekan raya,
3.     tempat-tempat yang mempunyai institut perekonomian atau peristiwa-peristiwa ekonomi seperti misalnya pameran atau pekan industri atau instalansi pabrik-pabrik raksasa.

e)     Daerah Tujuan Wisata tergantung pada kegiatan politik
Dalam golongan ini termasuk :
1.     ibukota atau pusat pemerintahan,
2.     tempat-tempat di mana terdapat institut politik dan kegitan-kegiatan politik seperti kongres, konferensi, musyawarah besar, perayaan nasional dan sebagainya.

Dilihat dari segi pelaksanaan praktisnya, penggolongan daerah Tujuan Wisata di atas ini terlalu teoritis dan seakan-akan dibuat-buat. Sebab dalam kenyataan sukar untuk menggolongkan atau menempatkan suatu wilayah atau daerah ke dalam suatu golongan daerah Tujuan Wisata tertentu. Ambillah umpamanya sebuah ibukota suatu negara (di sini jakarta misalnya), pada kenyataannya juga merupakan pusat perekonomian, pusat politik, pusat kegiatan kebudayaan, pusat lalu-lintas berbagai macam alat transportasi, serta pusat berbagai macam kegiatan lainnya, di mana pengolongan seperti tersebut di atas tidak banyak berarti. Namun demikian, dilihat dari segi investasi modal industri pariwisata, penggolongan ini adalah penting sekali untuk menghindari penanaman modal yang sia-sia. Misalnya pembangunan sebuah hotel, bungalow atau pesanggrahan membutuhkan perhitungan matang setelah memperhitungkan katagori wilayah Daerah Tujuan Wisata.
Pada umumnya menurut hasil pengamatan, penyelidikan serta pengalaman di masa-masa lampau, wilayah pariwisata yang baik dikunjungi, seperti di Eropa umpamanya, adalah daerah yang digolongkan ke dalam Daerah Tujuan Wisata tergantung atas alam yaitu tempat-tempat belibur, beristirahat dan berekreasi guna kesehatan badan jasmani, maupun rohani. Dalam hubungan ini jenis pariwisata semacam ini disebut Wisata Kesehatan dan wilayahnya disebut daerah Wisata Liburan dan Kesehatan. Tempat-tempat serupa biasanya terdapat di daerah pegunungan atau daerah pantai, di samping karena letak geografisnya mempunyai pemandangan indah dan memiliki hawa udara serta iklim yang dapat menyehatkan jasmani maupun rohaniah, lagi pula mempunyai mata air atau sumber alam mengandung mineral dapat menyebuhkan orang sakit apabila mandi atau minum air di tempat itu.
Suatu contoh khas di Eropa, ialah adanya wilayah pariwisata yang mempunyai mata air atau sumber lain yang mengandung mineral serta dapat menyembuhkan penyakit apabila orang mandi atau merendam diri di tempat itu. Mata air atau sumber (terkadang dalam bentuk lumpur) yang disebut spa ini banyak dikunjungi wisatawan apabila telah dinyatakan para ahli dari jawatan kesehatan sebagai suatu tempat di mana diketemukan bahan-bahan terapi secara ilmiah, yang terbukti dapat menyembuhkan dan di mana tersedia fasilitas-fasilitas untuk wisatawan. Di Tanah Air, tempat-tempat seperti ini hampir tidak jarang diketemukan di setiap pulau, hanya saja belum dikembangakan menjadi spa karena hal ini membutuhkan pengamatan dan penelitian serta perhatian masyarakat terhadap penyembuhan penyakit secara begini belum begitu besar.
Wilayah pariwisata lain, yang sangat penting dan amat ramai dikunjungi wisatawan-wisatawan adalah wilayah yang digolongkan dalam Daerah Tujuan Wisata tergantung atas kebudayaan, lebih-lebih di negara-negara Timur khususnya Asia, Asia Tenggara dan Timur jauh, seperti Tanah Air kita Indonesia. Wilayah-wilayah pariwisata lainnya seperti tersebut dalam klasifikasi di atas tidaklah kurang pentingnya. Justru karena itu, adalah sangat perlu untuk meninjau dan meneliti sesuatu atau daerah sebelumnya ia dapat dinyatakan sebagai daerah tujuan wisata dengan pasti.
Alangkah baiknya apabila suatu tempat atau daerah memiliki beraneka warna atraksi, baik atraksi keindahan alam, kegunaan manifestasi kebudayaan, pusat perekonomian maupun kegiatan politik, lalu-lintas dan sebagainya. Sehingga merupakan atraksi lengkap yang dalam keseluruhannya merupakan daya tarik kuat bagi kaum pelancong dari segala pelosok, dalam maupun luar negeri. Lebih ideal lagi apabila tempat atau daerah itu memiliki berbagai aneka ragam atraksi seperti diutaraka di atas dalam lingkungan wilayah yang luasnya beradius tidak lebih dari 50 km. wilayah semacam inilah patut dibangun dan dikebambangkan sebagai daerah tujuan wisata yang paling baik, sebab dapat memberi kemungkinan sangat luas bagi wisatawan untuk berlibur, istirahat, melihat-lihat, mengetahui dan menikmatinya. Tambahan pula jarak suatu tempat atau daerah beradius 50 km mudah dicapai dengan kendaraan bermotor dan tidak melelahkan.
Adalah keliru apabila orang berpendapat bahwa suatu danau misalnya yang sudah dapat dikatakan daerah tujuan wisata tanpa ada atraksi-atraksi lain (atraksi hidup bergerak) di samping situasi lalu-lintas kendaraan menuju dan dari tempat danau tersebut serta fasilitas-fasilitas utama yang dibutuhkan wisatawan di tempat tersebut. Demikian pula sama kelirunya apabila orang berpendapat bahwa suatu kota di mana terdapat seni budaya klasik bermutu tinggi adalah merupakan daerah tujuan wisata tanpa adanya objek-objek lain menunjang yang dapat dinikmati wisatawan yang berkunjung.
Sebab, seorang wisatawan tidak bisa dipaksa bisa menikmati keindahan danau melulu atau keagungan senitari berjam-jam (lebih-lebih kalau ia harus tinggal di tempat itu sekurang-kurangnya selama 24 jam) tanpa dapat menikmati atraksi-atraksi lain, baik waktu pagi, siang, senja maupun malam hari.
Wilayah pariwisata paling ideal dan dapat menjamin maksud serta tujuan industri pariwisata kita sesuai dengan fungsinya adalah daerah tujuan wisata yang benar-benar dapat memberikan atraksi beraneka ragam, baik yang dimiliki alam sekitar sebagai objek tak bergerak maupun yang merupakan manifestasi budaya tinggi khas bersifat daerah atau nasional sebagai objek bergerak, serta dapat memperlihatkan kegiatan kehidupan rakyat di sekitarnya, tambahan pula memiliki situasi hubungan lalu-lintas baik yang dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas kepariwisataan lainnya. Dengan kata lain, dapat dinikmati selama 24 jam, mulai dari pagi sampai malam hari pada waktu istirahat (tidur).  Wilayah ideal ini terletak dalam lingkungan yang tidak begitu jauh, memiliki radius lebih-kurang 50 km, sudah dicapai dengan kendaraan bermotor. Daerah tujuan wisata semacam inilah yang harus mendapat prioritas di dalam pembangunan industri pariwisata di Tanah Air.
Suatu objek jauh terpencil dan sukar dikoordinasikan dengan atraksi-atraksi lain di sekitarnya tidak mudah untuk dijadikan suatu daerah tujuan wisata, kecuali kalau mau dipaksakan dengan biaya-biaya terlalu mahal bagi pembangunannya. Tambahan pula, apa yang menarik buat kita sendiri belum tentu menarik buat orang lain.
Di Tanah Air, penanganan pembangunan wilayah pariwisata untuk dijadikan daerah tujuan wisata akhir-akhir ini telah nampak menunjukkan adanya kemajuan. Dalam hubungan ini, Pemerintah Indonesia dalam pelaksanaan kebijaksanaannya di bidang pariwisata melandaskan pembangunan daerah tujuan wisata atas dasar pokok-pokok pikiran:
1)    tersedianya prasarana, sarana dan fasilitas-fasilitas lain serta besarnya potensi kepariwisataan di daerah yang bersangkutan,
2)    asas pemerataan pembangunan, sehingga pengembangan pariwisata dapat dilaksanakan serempak tanpa mengabaikan potensi sumber-sumber yang dimiliki di tiap daerah,
Berdasarkan pendekatan pokok-pokok pikiran tersebut di atas, skala prioritas pembangunan dan pengembangan daerah tujuan wisata kemudian diputuskan untuk dibangun sebagai 10 daerah Tujuan Wisata yang meliputi propensi-propensi Daerah khusus Ibukota Jakarta Raya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
Daerah-daerah tujuan wisata, yang berjumlah 10 ini, dibangun dan digalakkan secara serentak di 10 Propensi seperti tersebut di atas, dengan urutan prioritas :
1)    Sumatera Utara – meliputi wilayah Danau Toba dengan Pulau Samosir dan sekitarnya, Daratan Tinggi Karo dengan Brastagi
2)    Sumatera Barat – meliputi wilayah Bukittinggi dengan Danau Maninjau, Danau Singkarak, Payakumbuh dan Batusangkar, serta Kota Madya Padang beserta objek-objek wisata di sekitarnya.
3)    Jawa Barat – meliputi wilayah kota Bandung, Jabotabek, Gunung Gede, Banten, Cirebon, Tasikmalaya dan Ciamis.
4)    Jawa Tengah dan Yogyakarta – meliputi wilayah Merapi, Merbau, Semarang, Ambarawa, Kopeng, Dieng, Solo, Yogyakarta serta lingkungan Candi Borobudur dan Candi Perambanan, termasuk Kudus dan Demak.
5)    Jawa Timur – meliputi wilayah kota Surabaya, Malang (Trowulan, Pandaan, Tretes), Gunung Bromo dan Pulau Madura serta Banyuwangi.
6)    Sulawesi Selatan – meliputi Kotamadya Ujung Pandang, Maros, Gowa, Jeneponto, Bulukumba, Selayar, Kabupaten Luwu dan terutama Tanah Toraja.
7)    Sulawesi Utara – meliputi wilayah Kabupaten Minahasa, Air Madidi, Rembokan, Taratara dan Tasik Ria.h.

Karena Bali dan DKI Jakarta Raya telah dipandang cukup mampu mengembangkan diri sebagai Daerah Tujuan Wisata utama, maka prioritas pembangunan baginya tidaklah penting lagi. Dan sebagai gantinya urutan prioritas pembangunan dan pengembangan daerah tujuan wisata dialihkan kepada Propensi Maluku dan Nusa Tenggara, terutama sebagai Daerah Tujuan Wisata yang disebut “Wisata Marina” atau “Wisata Bahari”.
Memperhatikan usaha-usaha Pemerintah dalam membangun dan mengembangkan daerah tujuan wisata seperti tersebut di atas, kita mendapat kesan adanya hal-hal yang seakan-akan dilaksanakan yaitu :
1.     pembangunan dan pengembangan daerah tujuan wisata ini diorientasikan atas pembagian wilayah Negara Republik Indonesia, yaitu Propensi/Daerah Tingkat Satu yang bersifat politis dan menyangkut birokrasi ketataprajaan.
2.     karena berorientasikan pembagian wilayah Negara Republik Indonesia, maka konsepsi ilmiah dan kebutuhan objektif praktis suatu daerah tujuan wisata terpaksa diabaikan ( kalau tidak dapat dikatakan disingkirkan).
3.     akibat pola dasar pemikiran yang berorientasikan politik pembangunan wilayah Negara Republik Indonesia atas dasar Propensi/Daerah Tingkat Satu secara serentak dan merata, maka dana yang cukup besar dan ahli-ahli harus disediakan dengan biaya tidak sedikit.
4.     adanya berbagai proyek yang dibangun tanpa dilandasi syarat-syarat suatu “Daerah Tujuan Wisata’ menyebabkan biaya pembangunannya jadi mubazir.

          Seandainya kesan yang kita tangkap seperti digambarkan di atas benar, maka orientasi ilmiah dan objektif tentang pembangunan dan pengembangan daerah tujuan wisata kita harus diletakkan pada proposi yang sebenarnya, yaitu syarat-syarat minimal yang dibutuhkan suatu tourist destination area : atraksi atau objek wisata menarik, mudah dicapai dengan alat-alat kendaraan (darat, laut, udara) serta tersedianya tempat tinggal sementara bagi pengunjung yang datang ke tempat daerah tujuan wisata tersebut.
           Untuk memenuhi syarat-syarat tersebut di atas daerah tujuan wisata dalam kenyataannya terpaksa harus disediakan dan dibangun prasarana dan sarana dengan biaya terlampau amat tinggi bagi kebutuhan kesepuluh daerah wilayah Propensi/Daerah Tingkat Satu seperti tersebut di atas. Terlebih-lebih yang menyangkut soal-soal asesibilitas dan pengadaan akomodasi bagi wisatawan mancanegara maupun domestik.