Kualitas
SDM Pariwisata Bali Lemah, Keterlibatannya pun Kurang
Pariwisata
merupakan industri peradagangan jasa yang dalam kegiatannya semata-mata menjual
jasa karena produknya bersifat perishable (hanya dapat dikonsumsi dan dinikmati
pada saat berada di suatu tempat) dan sangat berbeda dengan produk perdagangan
komesial lainnya yang barangnya bisa dibawa pulang setelah transaksi jual-beli.
Pelayanan
merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam industri pariwisata dan merupakan
salah satu tuntutan wisatawan pada saat melakukan kegiatan menghabiskan waktu
luang untuk perjalanan wisata. Untuk memberikan jaminan pelayanan yang memuasakan
kepada wisatawan diperlukan penyediaan sumber daya manusia (human resource)
yang berkompetensi, berkualitas, professional, dan berstandar internasional.
Pada
kenyataannya sumber daya manusia pariwisata Bali khususnya orang-orang Bali
belum memiliki kualifikasi yang sesuai dengan permintaan wisatawan. Ini dapat
dilihat dengan jelas di kebanyakan industri pariwisata yang mana orang-orang
Bali hanya menduduki posisi-posisi sebagai front liner yang memiliki pekerjaan
yang cukup berat namun mendapatkan penghasilan yang jauh lebih sedikit daripada
posisi-posisi di tingkat manajer (managerial position) yang umumnya dipegang
oleh orang-orang dari luar Bali dan bahkan luar negeri.
Ada
dua faktor utama yang menyebabkan terjadinya realitas ini yaitu: pertama, pendidikan
yang diberikan di sekolah-sekolah pariwisata dari tingkat SMK sampai Diploma
atau Program Setara Diploma adalah lembaga pendidikan yang mendidik sumber daya
manusia untuk menjadi pekerja pariwisata yang berkompetensi (memiliki
pengetahuan, keahlian, dan prilaku), namun sayangnya pendidikan dan pelatihan
yang diberikan ditujukan untuk posisi-posisi kelas bawah seperti; waiter,
waitress, cook, bellboy, room attendant, engineer, dan lain-lain.
Marak
dan menjamurnya sekolah-sekolah menengah kejuruan pariwisata dan lembaga
pendidikan yang memberikan pelatihan setingkat Diploma I memang dapat membantu
mengurangi jumlah pengangguran karena setelah tamat mereka mendapatkan
pekerjaan dan menghasilkan sejumlah uang. Tetapi jika dilihat dari posisi yang
didapat di tempatnya bekerja dan ditelusuri lebih jauh, maka secara tidak
langsung telah turut serta berkontribusi terhadap penciptaan kemiskinan yang
terstruktur (structural poverty) karena penghasilan yang diperoleh biasanya
hanya cukup untuk makan, transportasi, dan menyewa rumah atau kamar. Sehingga
uang yang diperoleh tidak bisa lagi dialokasikan untuk meningkatkan
kesejastraannya dan menjamin kehidupannya kelak.
Faktor
kedua adalah adat dan budaya. Keanekaragaman adat dan budaya yang dimiliki Bali
bukan hanya sebagai peluang (opportunity) tetapi juga sebagai ancaman (threat).
Kegiatan keagamaan dan adat istiadat yang merupakan bagian dari budaya Bali
merupakan faktor penghambat majunya sumber daya manusia Bali di industri
pariwisata jika tidak disikapi dengan baik dan diadakan penyesuaian terhadap
awig-awig (kesepakatan yang dijadikan oleh anggota desa adat). Kewajiban untuk
mengikuti kegiatan keagamaan dan adat merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh
setiap orang Bali karena mereka sebagai masyarakat sosial yang terikat dengan
adat istiadat di desa asalnya. Melihat kondisi ini maka sangat tidak mungkin
bagi orang Bali untuk bisa bekerja secara profesional sesuai dengan tuntutan
industri pariwisata. Sedangkan sumber daya manusia luar Bali yang bekerja di
industri pariwisata sangat siap untuk bekerja secara profesional karena mereka
tidak dituntut dan melaksanakan kewajiban sebagaimana layaknya sumber daya
manusia Bali.
Banyak
peran yang bisa dimainkan masyarakat dalam pengembangan pariwisata. Masyarakat
lokal semestinya dilibatkan dalam proses perencanaan, pembangunan, pengawasan,
dan pengevaluasian pariwisata. Namun usaha pelibatan masyarakat dalam
pengembangan pariwisata mengalami kendala-kendala dalam penerapannya, karena:
1.
sumber daya masyarakat lokal kurang
dan bahkan tidak mengetahui visi pembangunan pariwisata secara jelas
2.
rendahnya minat dan kesadaran
(awareness) sumber daya masyarakat lokal terhadap pentingnya pariwisata
3.
rendahnya kemampuan sumber daya
masyarakat lokal dalam bidang kepariwisataan
4.
kesenjangan budaya (cultural
barrier) antara sumber daya masyarakat lokal dan wisatawan
5.
sumber daya masyarakat lokal tidak
memiliki kemampuan ekonomi dan investasi.
Faktor-faktor
inilah yang menjadikan masyarakat lokal hanya menjadi obyek dan penonton saja
dan bukan sebagai subyek atau pelaku pariwisata.
Masalah-masalah
tersebut hanya dapat diatasi dengan pemberian pendidikan dan pelatihan yang
cukup atau memadai kepada masyarakat lokal agar memiliki pengetahuan yang lebih
luas dan mengglobal. Tidak hanya pemberian pendidikan dan pelatihan pariwisata
yang diberikan ditujukan untuk posisi-posisi kelas bawah, seperti; waiter,
waitress, cook, bellboy, room attendant, engineer, dan lain-lain. Seperti yang
ada di sekolah-sekolah SMK seperti sekarang ini
Ini merupakan “PR” dan tantangan yang sangat
berat bagi pemerintah dan para pendidik baik itu pendidik di pendidikan dasar,
menengah dan perguruan tinggi agar mampu menciptakan sumber daya manusia yang
berkompetensi internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar